Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jurnalisme Lher, dari Sekwilda hingga Bupati

Jurnalisme Lher, dari Sekwilda hingga Bupati, jurnalisme pornografi, sekitar wilayah dada, buka paha tinggi

Coba perhatikan beberapa sampul depan (cover) tabloid Monitor dan tabloid Mantra di atas. Dengan melihat sampul yang seperti demikian, anda sudah bisa membayangkan bagaimana konten di dalamnya. Inilah yang dimaksud produk jurnalisme lher. Mungkin beberapa sampul depan tabloid tertera sudah menggambarkan arti dari jurnalisme lher.

Jurnalisme lher sering disebut sebagai jurnalisme sensasional karena berita dan ilustrasi yang disajikan berlandaskan sensasi semata. Selain itu, jurnalisme lher juga disebut sebagai jurnalisme pornografi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suatu berita atau gambar dikategorikan pornografi apabila setidaknya mengandung batasan sebagai berikut:

  • Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi.
  • Bahan yang dibuat dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Sesuatu yang menyangkut pornografi selama ini sering identik dengan eksploitasi seks wanita disertai komentar yang berselera rendah.

Apapun istilah yang disematkan kepada jurnalisme lher, dalam praktiknya jurnalisme lher selalu bersinggungan dengan sesuatu yang berbau "sekwilda" (sekitar wilayah dada) dan "bupati" (buka paha tinggi-tinggi). Judul-judul berita dalam jurnalisme lher pun acap kali bersifat asosiatif yang mengarahkan pembaca pada masalah seks.

Tabloid Monitor merupakan salah satu media massa yang dinilai menerapkan jurnalisme lher di tahun 90-an. Berikut ini salah satu sampul tabloid Monitor yang terbit tahun 1987:

Jurnalisme Lher, dari Sekwilda hingga Bupati, tabloid monitor, jurnalisme pornografi, sekitar wilayah dada, buka paha tinggi
Pose Dian Piesesha dalam Cover Tabloid Monitor (18/3/1987)


Meskipun sampulnya sering terkesan asosiatif ke arah seks, namun isi beritanya terkadang tidak sesuai. Berita-berita mengenai dunia keartisan, perfilm-an, dan dunia tarik suara disembunyikan dibalik judul yang vulgar. Hal ini bisa jadi merupakan strategi agar laku di pasaran.

Atas keberaniannya itu, tak aneh jika tabloid Monitor mampu mencapai oplah 700.000 eksemplar pada tahun 1990. Selain Monitor, ada lagi tabloid yang dicap menerapkan jurnalisme lher di Indonesia, diantaranya tabloid BOS, tablid Hot, dan tabloid Lipstik.

Catatan atas Kemunculan Jurnalisme Lher

Jurnalisme lher memang ditentang banyak orang, tetapi kemunculannya telah ikut mempengaruhi perkembangan jurnalisme di Indonesia. Regulasi yang membatasi munculnya jurnalisme lher sering dimaknai sebagai kekangan terhadap kebebasan pers. Begitu pun mereka yang protes atas regulasi seperti itu seakan tidak mau tau terhadap dampak yang ditimbulkan jurnalisme lher di masyarakat.

Terkait kemunculan jurnalisme lher setidaknya terdapat beberapa catatan, antara lain:

  • Jurnalisme lher muncul sebagai gambaran jurnalisme masyarakat kelas bawah. Bukan berarti kalangan kelas atas tidak suka jurnalisme lher, hanya pengemasannya tidak terlalu vulgar.
  • Jurnalisme lher bisa jadi merupakan simbol perlawanan terhadap kekangan pemerintah yang otoriter pada zamannya. Ketika media dilarang mengupas persoalan politik, maka jurnalisme lher seakan menjadi pelampiasan.
  • Jurnalisme lher menjadi pilihan media massa yang memiliki orientasi bisnis ketimbang idealisme.
  • Jurnalisme lher bisa jadi muncul akibat euforia kebebasan pers tahun 1998, sejak saat itu banyak bermunculan media massa sebagai akibat kebebasan pers atau saking bebasnya layak disebut kebablasan pers.
  • Jurnalisme lher dikhawatirkan merusak pikiran generasi muda. Jika sejak muda sudah dijejali produk jurnalisme lher, tak ada jaminan di masa depan mereka tidak terpengaruhi dampak jurnalisme lher.
  • Media cetak yang menampilkan jurnalisme lher di Indonesia dijual sangat bebas (pada awal kebebasan pers).

Kini media yang menerapkan jurnalisme lher mulai menghilang, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa mereka masih ada namun sirkulasi atau peredarannya tidak sebebas dulu dan terbatas.

- Referensi -
Nurudin. 2009. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Posting Komentar untuk "Jurnalisme Lher, dari Sekwilda hingga Bupati"