Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nuraliyah binti Mahmudin

Arloji di tanganku menunjukkan pukul dua puluh, tapi dia belum muncul juga. Aku hanya bisa terdiam, berdiri di tepi jalan, di atas trotoar, di bawah sinaran lampu yang taram-temaram, bersandar pada dinding yang penuh coretan.

Sesekali kupandangi mobil yang lalu lalang di hadapan. Sesekali juga menggelengkan kepala pada sopir Angkot yang menawari tumpangan. Padahal jelas-jelas aku menenteng kendaraan.

Iseng kucium aroma bajuku. Nampaknya wangi parfum refil yang kubeli dekat kampus tak semerbak lagi. Malah berganti bau keringat hasil mengayuh sepeda dari rumah ke tempat aku sekarang berdiri.

**

Setengah jam aku menahan jenuh, akhirnya ia keluar dari mulut gang pukul dua puluh lebih tiga puluh. Ia yang kutunggu sedari tadi. Meskipun belum jelas betul, tapi dari perawakannya yang tak terlalu tinggi, badannya yang agak berisi, dan kepalanya yang selalu tertutupi. Kuyakin dia yang kunanti.

Aku pun mendekatinya. Memang betul, itu Nur. Perwajahan Cina Palembang. Sungguh, simpulan senyumnya menggetarkan hati. Hijabnya berkibar penuh misteri. Mungkinkah di balik hijabnya tersimpan kepala yang botak? Atau bahkan bersarang banyak ular?

"Assalamu'alaikum, Bang." suara lembut itu mengayun ke telinga merontokkan terkaan-terkaan radikal sebelumnya.

"Wa'alaikum salam." jawabku sambil mengulurkan tangan layaknya orang yang hendak memberikan selamat. Nur pun menyambut. Seketika tubuhku merasakan ada sesuatu yang salah. Ya Tuhan. Dosakah aku merasakan lembutnya tangan ciptaan-Mu ini?

Aku gerogi setengah mampus. Bahkan untuk menjawab salam pun mulutku seakan terbungkus. Wajar saja, ini adalah pertemuan pertama kami, maksudku ini adalah pertemuan pertama yang direncanakan.

Sebelumnya, pertemuan kami hanya bersifat kebetulan, hanya papasan di kampus atau di jalan. Dan yang namanya papasan, percakapannya tak lebih dari sekadar salam berbalas salam. Selama setengah tahun mengenal, percakapan kami lebih banyak tersampaikan via aksara, mungkin juga via do'a.

Belum sempat kuucapkan kata-kata mainstream itu. Ia sudah menyela dengan kalimat yang rasanya aneh diucapkan dalam pertemuan pertama.

"Maaf ya Bang, bila ada salah selama kita saling mengenal." ucapnya bernada sendu.

"Lho? Memangnya ada apa? Kok mendadak minta maaf?"

"Besok Nur kan mau pulang Bang. Takutnya ga ada waktu lagi buat pamit."

DEG

Ucapan Nur membuat detak nadiku seolah tertahan. Namun aku coba tanyakan kembali, siapa tahu pendengaranku mengalami kerusakan.

"Pulang? Ke Palembang?"

"Iya Abang, memangnya kemana lagi? Rencananya besok pagi. Mungkin tak akan balik lagi ke sini." jelas Nur bersungguh-sungguh.

Jika saja aku membawa sekuntum mawar segar, mungkin saat ini mawar itu sudah layu atau bahkan minder dan berkamuflase menjadi kembang kuburan gara-gara mendengar ucapannya.

Untungnya yang kubawa saat ini adalah bungkusan kotak pipih yang di dalamnya terselip sekeping DVD berisi video ucapan selamat ulang tahun hasil editanku sedari bulan lalu.

Ya... aku memiliki sedikit keahlian dalam menyunting video, meskipun sebenarnya aku tidak punya komputer, laptop, atau alat penunjang lainnya. Tapi beruntung aku dikelilingi teman yang memiliki benda-benda mutakhir itu, dan bermurah hati meminjamkannya padaku.

Mendengar ucapan Nur, aku hanya terdiam beberapa saat sebelum ia melanjutkan perkataannya.

"Kukira Abang sudah tahu kabar ini. Kukira kedatangan Abang ke sini mau mengucapkan salam perpisahan."

"Eh? Abang benar-benar belum tau, Nur. Justru Abang ke sini mau mengucapkan selamat ulang tahun."

"Selamat ulang tahun ya, Nur." ucapku sambil kembali mengulurkan tangan. Namun kali ini tak mendapat sambutan dari Nur.

"Siapa yang ulang tahun hari ini bang?" tanya Nur sembari menengokan kepalanya ke sekitar.

"Lah? Masa kamu lupa sama ulang tahun sendiri."

"Aku memang pelupa Bang, tapi kalau hari ulang tahun sendiri pasti tak lupa."

"Eh? Itu di fesbuk-mu?"

Bulan lalu, ketika sedang mengerjakan tugas kuliah di Warnet, aku iseng mengintip dinding fesbuk milik Nur. Iseng yang disengaja sih. Di laman profilnya tertera bahwa tanggal 17 Januari, adalah hari ulang tahunnya.

"Hmmm... Fesbuk? Oh Itu... Peninggalan jaman jahiliyah. Itu tanggal jadian aku sama pacarku Bang."

"HAH?". Uluran tangan yang sedari tadi standbye pun seketika kutarik. Bagaimana tidak? Mendengar perempuan yang kugilai ternyata sudah dicarter orang.

"Sewaktu SMP kami menyamakan hari ulang tahun masing-masing dengan hari jadian. Aku lupa tak mengubahnya ke tanggal yang asli setelah kami berpisah. Dipikir-pikir dulu aku lebay ya bang?" ucap Nur sambil tertawa kecil.

"Oh sudah putus. Sekarang kamu punya?" tanyaku dengan bingung antara lega atau tegang mendengarkan jawaban selanjutnya.

"Punya apa?" Nur terlihat bingung. Wajar, karena pertanyaanku memang tidak lengkap.

"Itu... Pacar." ucapku ragu.

"Punya." jawabnya santai.

"Siapa?"

"Abang." jawabnya mantap.

"Abang mana?" tanyaku memastikan sebelum aku mati kegeeran.

"Abang Husin"

"Husin mana?"

"Kamuuu"

"HAH? Benarkah?"

"Iya Abang. Selama ini aku suka sama Abang." jawabnya meyakinkan.

"Sebenarnya... Mmmm... Abang... Abang juga..." ucapanku terbata-bata hingga belum sempat kalimat itu kuselesaikan, tawa Nur menyela.

"Santai Bang santai. Aku hanya bercanda. Lagian Abang sih. Baru juga ketemuan udah kepo-kepo gitu." jelas Nur sambil terbahak. Tapi sungguh, penjelasan itu sama sekali tak bernilai humor bagiku. Aku pun memilih diam tanpa menyambut tawanya.

"Bagiku pacaran hanya buang-buang waktu. Lebih baik memperbaiki diri dulu. Karena entah kata siapa; jodoh kita adalah cerminan diri kita, jika kita baik maka jodoh kita akan baik. Lagi pula pacaran lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya kan?" papar Nur.

Kupikir kedatanganku ke sini bertujuan mengucapkan selamat ulang tahun, bukan menyimak ceramah Mamah Lodeh. Di satu sisi, aku masih kesal dengan candaan Nur. Namun di sisi lain, mana mungkin aku meluapkan kekesalan padanya. Menatapnya saja aku sudah lumer. Aku pun kembali memilih diam.

"Lagipula untuk memiliki hubungan yang serius tak harus melalui pacaran kan?" lanjut Nur.
"Jadi kalau Abang. Eh, maksudnya kalau ada lelaki yang mau serius sama aku, silakan datang ke rumah, temui orangtuaku."

"Kenapa kamu revisi ucapanmu Nur? Aku siap bertemu orang tuamu!" ucapku dalam hati seraya melontarkan senyuman.

"Oh iya. Tadi kan Abang ngucapin selamat ulang tahun. Sekarang mana kadonya?" tagih Nur seperti hendak memulihkan suasana.

"Eh. Ini." ucapku singkat sambil menyodorkan bungkusan yang sedari tadi rasanya ingin kucemplungkan ke got dekat trotoar.

"Iiiih so sweet," ucap Nur sepanjang lima harokat sambil loncat kegirangan. Ekspresinya kekanak-kanakan memang, tapi tak apalah.

"Jangan nilai barangnya, tapi nilai dari niat dan usahanya ya." ucapku dengan nada yang kubuat selembut mungkin.

Nur hendak langsung membukanya, tapi seketika aku cegah hingga tak sadar tanganku memegang tangannya.

"Jangan dulu dibuka! Nanti saja ketika ulang tahunmu yang sebenarnya." Aksiku sepertinya mengagetkan Nur. Dengan wajah tegang ia menatapku, lalu melirik tanganku yang belum melepaskan tangannya.

"Eh. Maaf Nur. Maaf." seketika kulepaskan pegangan tanganku. Tapi ia malah tersenyum.

"Masih lama Bang." ucapnya.

"Memangnya ulang tahunmu kapan?"

"Mau tau?" pertanyaan Nur mencurigakan. Aku hanya mengangguk.

"Sun dulu dong!" ucap Nur sembari menyodorkan pipinya ke arahku. Sontak aku kaget dan terperanjak. Melihat reaksiku, Nur kembali terbahak, kadarnya dua kali lipat dari sebelumnya.

"Santai Bang jangan panik. Aku hanya bercanda." ucap Nur sambil terkekeh-kekeh.

Sial kena lagi. Tapi kali ini aku tidak kesal, pikirku malah membayangkan seandainya tawaranmu barusan kenyataan. Astagfirullah, kotornya pikiranku.

"Lain kali ngucapin ulang tahunnya tanggal 3 Oktober ya Bang. Catat! T-I-G-A O-K-T-O-B-E-R." Nur mengeja. Aku hanya mengangguk.

"Hooaaammm... Bang aku ngantuk." ucapnya sambil menguap.

"Yasudah, Abang pulang ya. Kamu juga kembali ke kontrakanmu."

"Gamau!" jawabnya ketus. Aku bingung menghadapi sikap yang seperti ini.

"Lah? Bukannya..." ucapku berhati-hati. Belum sempat kuselesaikan kalimat, Nur menyela.

"Gendong!"

"Waduuuh...!" mendengar permintaannya, jelas aku kaget. Tak sempat terpikir bahwa permintaan-permintaan Nur hanya sekadar candaan.

"Tenang Bang tenang. Maaf ya dari tadi aku menggoda Abang terus." jelasnya dengan tawa yang kadarnya hanya setetes dibanding sebelumnya.

"Tapi beneran, Nur sudah ngantuk Bang." ucapnya sambil menguap dan menggisik matanya.

"Bukannya Nur ngusir ya. Lebih baik Abang pulang gih. Sudah malam. Anak perawan ga baik lho keluyuran malam-malam." kali ini Nur hanya tersenyum.

Candaan Nur kali ini tidak membuatku kesal. Meskipun sebenarnya candaannya garing, tetap kusambut dengan senyuman, bukan karena materi candaannya, ini lebih karena bahagia bisa melihatnya tersenyum.

"Assalamu'alaikum" ucapku sambil melangkah mundur.

"Wa'alaikumsalam" suara lembut Nur kembali mengayun ke telingaku, semoga ini bukan kali terakhir yang aku dengar.

Aku pun bergegas menaiki sepeda yang sedari awal kusenderkan di dinding yang penuh coretan tadi. Mataku melirik Nur. Dia masih berdiri di mulut gang. Aku menganggukkan kepala tanda pamit. Nur pun membalasnya dengan anggukkan kepala.

Sepeda kukayuh, namun jarak belum tiga puluh meter dari mulut gang. Laju sepeda kuhentikan, bayang-bayang Nur masih saja gentayangan di pikiranku. Kutengokkan kepala ke belakang, di sana masih berdiri Nur. Ia melambaikan tangan. 

Mungkin sambil melambaikan tangan Nur berucap "Aku akan meridukan Abang! Kutunggu kedatanganmu di rumah, Bang!" Ah itu hanya igauanku saja, bahkan mungkin sosok Nur yang melambaikan tangan itu pun hanya fatamorgana.

Entahlah. Kuharap video ucapan selamat ulang tahunku tak berubah menjadi video selamat tinggal. Kuharap kepingan DVD-nya tak rusak sebelum nanti Nur memutarnya.

Selamat ulang tahun, Nuraliyah binti Mahmudin.

***

1 komentar untuk "Nuraliyah binti Mahmudin"

  1. Tunjukkan komentar ini untuk mendapatkan bonus hingga 15% dari BV ( b-o-l-a-v-i-t-a ).. atau hubungi kami langsung di WA : +62812-2222-995

    BalasHapus