Jurnalisme Presisi dalam Pilpres 2014
Apakah kamu menyimak penghitungan cepat atau quick count yang dilakukan Kompas melalui unit Litbang Kompas pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 lalu?
Kompas menampilkan selisih persentase pemilih antara pasangan nomor urut satu (Prabowo-Hatta) dan nomor urut dua (Jokowi-JK) secara realtime di Kompas.com dan di Kompas TV setelah penghitungan suara di TPS-TPS yang menjadi sampel selesai dilakukan.
Dalam proses hitung cepat Pilpres 2014, Kompas menggunakan 2.000 sampel TPS yang tersebar di berbagai daerah dengan total sampel pemilih mencapai 786.000 orang. Batas kesalahan atau margin of error dari hasil hitung cepat ini adalah lebih kurang 0,11 persen untuk sampel pemilih dan kurang lebih 2,2 persen untuk sampel TPS.
Ini adalah hitung cepat kesembilan kali yang diselenggarakan Litbang Kompas. Untuk menjaga independensi, seluruh pendanaan dibiayai sendiri dari anggaran PT Kompas Media Nusantara tahun 2014.
Hasil hitung cepat Kompas pada Pilpres 2014 menyatakan sebagai berikut:
#Persentase Pemilih:
Prabowo-Hatta = 47,66%
Jokowi-JK = 52,34%
#Catatan:
Suara Sah = 70,37%
Suara Tidak Sah = 0,94%
Suara Tidak Digunakan = 28,69%
*Sumber: Litbang Kompas
Hasil hitung cepat tersebut tentu tidak mewakili pilihan rakyat Indonesia secara keseluruhan, namun hanya sebagai gambaran hasil resmi pemilu dari KPU.
Apa yang dilakukan Kompas tersebut menjadi salah satu alat yang dikenal sebagai jurnalisme presisi atau precision journalism. Jurnalisme presisi adalah aplikasi ilmu sosial dalam dunia jurnalistik. Dengan kata lain, jurnalisme presisi adalah kegiatan jurnalistik yang menekankan ketepatan (presisi) informasi dengan memakai pendekatan ilmu sosial dalam proses kerjanya.
Kemunculan Jurnalisme Presisi (Precision Journalism)
Jurnalisme presisi pertama kali dikemukakan oleh Philip Meyer pada tahun 1969-1970 ketika ia menjadi dosen tamu di Russel Sage Foundation, New York. Meyer mengaplikasikan konsep tersebut untuk mengulas huru-hara Detroit dengan membuat manuskrip berjudul “The Application of Social and Behavioral Science Research Methods to the Practice of Journalism”.
Pada musim dingin tahun 1971, Everertte E. Dennis dari Kansas State University mengajar “The New Journalism” di University of Oregon. Dia mengatakan tentang apa yang telah dikerjakannya di Detroit. Dennis menyebutnya sebagai salah satu embrio jurnalisme baru yang selanjutnya dikenal dengan sebutan jurnalisme presisi.
Beberapa elemen penulisan jurnalisme presisi terangkum dalam pertanyaan berikut:
- Bagaimana mendapatkan informasi?
- Bagaimana mengevaluasi dan menganalisisnya?
- Bagaimana mengomunikasikannya?
Bahkan Nicholas Von Hoffman dalam tulisannya berjudul “Public Opinion Polls: Newspapers Making Their Own News?” mengatakan, seharusnya jurnalis menunggu sampai orang mengerjakan sesuatu, kemudian baru melaporkannya.
Polling yang dilakukan media dianggap telah melanggar pakem dunia jurnalistik selama ini. Dengan kata lain, wartawan menunggu fakta yang terjadi dan bukan membuat fakta itu sendiri (dengan melakukan polling).
Polling yang dilakukan media dianggap telah melanggar pakem dunia jurnalistik selama ini. Dengan kata lain, wartawan menunggu fakta yang terjadi dan bukan membuat fakta itu sendiri (dengan melakukan polling).
Kekhawatiran lain yang mencuat adalah polling yang dilakukan media sangat rawan ditumpangi oleh kepentingan politik. Namun kekhawatiran tersebut tidak terbukti, bahkan jurnalisme presisi kemudian berkembang secara drastis pada tahun 1980-an. Jurnalis presisi tidak menyewa orang lain untuk mengadakan polling dalam membuat berita, tetapi jurnalis menjadi orang yang membuat polling itu sendiri.
Keganjilan Fenomena ganjil sempat terjadi dalam Pemilu Presiden Indonesia periode 2014-2019. Banyak media yang 'menyewa' lembaga survei untuk melakukan quick count . Namun, di antara lembaga survei yang digunakan sebagai acuan ada yang mengeluarkan hasil berbeda.
Lembaga survei yang disewa TVOne menyatakan bahwa perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta mengungguli pasangan Jokowi-JK. Namun, Metro TV, Kompas, TVRI, RRI, dan mayoritas media massa menyatakan hal yang sebaliknya. Lembaga survei yang disewa oleh media selain TVOne menyatakan bahwa perolehan suara pasangan Jokowi-JK unggul atas pasangan Prabowo-Hatta.
Apakah fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai kegagalan dalam mempraktekkan jurnalisme presisi? Entahlah, bisa saja perbedaan hasil tersebut diakibatkan oleh penggunaan metode survei yang berbeda, atau jangan-jangan ada kepentingan politik di belakangnya. Wallahualam.
Keganjilan Fenomena ganjil sempat terjadi dalam Pemilu Presiden Indonesia periode 2014-2019. Banyak media yang 'menyewa' lembaga survei untuk melakukan quick count . Namun, di antara lembaga survei yang digunakan sebagai acuan ada yang mengeluarkan hasil berbeda.
Lembaga survei yang disewa TVOne menyatakan bahwa perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta mengungguli pasangan Jokowi-JK. Namun, Metro TV, Kompas, TVRI, RRI, dan mayoritas media massa menyatakan hal yang sebaliknya. Lembaga survei yang disewa oleh media selain TVOne menyatakan bahwa perolehan suara pasangan Jokowi-JK unggul atas pasangan Prabowo-Hatta.
Apakah fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai kegagalan dalam mempraktekkan jurnalisme presisi? Entahlah, bisa saja perbedaan hasil tersebut diakibatkan oleh penggunaan metode survei yang berbeda, atau jangan-jangan ada kepentingan politik di belakangnya. Wallahualam.
Mari bergabung bersama kami, agen bolavita, dapatkan penawaran khusus untuk anda yang hari ini bergabung. Dapatkan bonus 10% bila anda memperlihatkan postingan ini kepada kami...
BalasHapusWA : +62812-2222-995
hubungi kami segera... Terima kasih